Tak Hanya Bikin Gemuk, Pola Makan Tinggi Lemak Juga Memengaruhi Kesehatan Mental

Tak Hanya Bikin Gemuk Pola Makan Tinggi Lemak Juga Memengaruhi Kesehatan Mental

FibreFirstHealth Articles Leave a Comment

Pola makan yang buruk atau tidak sehat termasuk faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) yang dapat dicegah. Sejumlah studi ilmiah telah membuktikan hubungan antara kelebihan asupan gula, garam, dan lemak dengan peningkatan risiko PTM, termasuk obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan beberapa jenis kanker.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa garam, gula, dan lemak merupakan unsur penting dalam pola makan kita, termasuk manfaatnya untuk meningkatkan cita rasa makanan menjadi gurih, manis, dan nikmat. Banyak makanan olahan yang tinggi lemak juga memiliki kandungan garam yang tinggi, seperti daging olahan (sosis), keju, keripik, kentang goreng, dan banyak makanan gurih lainnya.

Selain meningkatkan risiko obesitas dan berbagai penyakit tidak menular, pola makan tinggi lemak ternyata juga berhubungan dengan timbulnya kecemasan atau anxiety. Penelitian terbaru yang dimuat dalam Biological Research menunjukkan ketika hewan uji diberi makanan tinggi lemak jenuh selama sembilan minggu, bakteri usus mereka berubah sehingga mempengaruhi respon kimia otak dan memicu kecemasan.¹

Hewan uji yang mengonsumsi diet tinggi lemak jenuh dengan komposisi diet 45% lemak, terutama lemak jenuh yang berasal dari produk hewani. Setelah sembilan minggu, selain peningkatan berat badan dan kadar lemak tubuh, komposisi mikrobiota usus hewan uji juga berubah, yaitu peningkatkan proporsi Firmicutes/Bacteroidetes.

Di dalam usus manusia, terdapat trilyunan mikrobiota usus yang terdiri dari berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, dan virus. Beberapa mikroba usus dapat memberikan manfaat dan hidup saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dengan manusia, tapi ada juga yang menyebabkan penyakit. Dari berbagai jenis bakteri, filum utama (hampir 90%) dalam mikrobiota usus adalah Firmicutes dan Bacteroidetes.

Proporsi Firmicutes/Bacteroidetes (F/B) meningkat pada orang gemuk dibandingkan dengan orang kurus. Firmicutes lebih efektif dalam mengekstraksi energi dari makanan daripada Bacteroidetes, sehingga penyerapan kalori lebih efisien.²

Penelitian ini juga membuktikan bahwa obesitas yang disebabkan oleh diet tinggi lemak juga berhubungan signifikan terhadap perubahan sinyal antara otak-usus-serotonergik (reseptor serotonin), yang mengarah pada peningkatan perilaku yang berhubungan dengan kecemasan. Diet tinggi lemak dapat menghambat produksi serotonin dan menyebabkan perubahan sistem kerja serotonin di otak. Serotonin paling banyak diproduksi di usus, dengan sekitar 95% serotonin tubuh ditemukan di saluran cerna.³

Jika kamu masih sering mengonsumsi berbagai makanan olahan yang tinggi lemak, mulai pelan-pelan untuk mengubah pola makan tersebut. Konsumsi berbagai jenis buah-buahan dan sayuran, kamu juga dapat mengonsumsi produk fermentasi seperti tempe, yoghurt, dan suplemen dengan kandungan serat seperti FibreFirst dan prebiotik untuk mendukung mikrobiota usus serta pencernaan yang sehat.


¹ de Noronha, S. I. R., de Moraes, L. A. G., Hassell Jr, J. E., Stamper, C. E., Arnold, M. R., Heinze, J. D., … & de Menezes, R. C. (2024). High-fat diet, microbiome-gut-brain axis signaling, and anxiety-like behavior in male rats. Biological Research, 57(1), 23.
² Krajmalnik-Brown, R., Ilhan, Z., Kang, D., & DiBaise, J. K. (2012). Effects of gut microbes on nutrient absorption and energy regulation. Nutrit. Clin. Pract. 27 (2): 201–214.
³ Appleton, J. (2018). The gut-brain axis: influence of microbiota on mood and mental health. Integrative Medicine: A Clinician’s Journal, 17(4), 28.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *